Oleh : Idi Pangkur
Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi di masa lalu, ada seorang lelaki kampung bernama Karyadi, mengidap malaria berminggu-minggu lamanya. Hampir putus asa istrinya, segala ramuan dan obat sudah dicoba, tapi sakit Karyadi tak kunjung reda. Demam tinggi membuat rambut Karyadi rontok nyaris botak. Setiap jam, tubuhnya menggigil hebat, dan ketika ia menggigil pasti bergemerotak bunyi dipan tempatnya berbaring. Istrinya pernah berinisiatif menindih tubuh Karyadi dengan buntelan kain berisi batu agar tubuh Karyadi diam, tapi beberapa kali batu itu menggelinding lalu jatuh menimpa lantai semen. Perut Karyadi sudah seperti balon yang kempes, apa pun makanannya, terasa pahit di mulut.
Lalu datanglah tukang kredit terseok-seok memikul barang dagangan dan berhenti di depan rumah Karyadi, ia hendak menagih angsuran uang atas beberapa barang yang pernah diambil istri Karyadi. Demi mengetahui Karyadi sakit, tukang kredit berusia 23 tahun itu minta bertemu dengan Karyadi. Ia duduk khidmat di samping tubuh Karyadi, membaca beberapa ayat al-Quran lalu meniupkan napasnya ke dahi Karyadi. Esok harinya, Karyadi sudah dapat nongkrong di beranda.
“Apakah tukang kredit yang menyembuhkan sakit malaria Karyadi?” tanya Arifin kepada Emak.
“Bukan. Tuhan-lah yang menyembuhkannya,” jawab Emak.
*
Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi di masa lalu, ada seorang lelaki tua sedang meregang nyawa, tapi malaikat maut tak juga mencabutnya. Tengkorak hidup, demikian orang menggambarkan keadaan lelaki tua itu. Hampir putus asa semua anggota keluarga, sakit si tua rupanya sangat merepotkan mereka. Berangkat dari rasa iba, tukang kredit datang menjenguk, ia mengaji dengan khusuk. Esok harinya, orang tua itu sehat dan mendapati dirinya sudah berada di alam kubur.
Tak hendak menunggu pertanyaan idiot dari Arifin, Emak langsung mengultimatum: “Jangan berpikir tukang kredit-lah yang menyebabkan orang tua itu mati!”
*
Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi di masa lalu, Paimun mengamuk di halaman rumahnya. Ia mengaum, mencakar tanah, melompat-lompat, menerkam apa saja yang ada di hadapannya.
“Kang Paimun ngelmu macan. Kalau sedang marah, dia akan mengamuk seperti macan,” begitu kata orang-orang yang mengintip dari balik jendela. Beberapa warga menggelindingkan telur ayam ke arah Paimun, karena katanya telur bisa menjinakkan orang yang sedang ngamacan. Tapi gagal, Paimun tambah beringas, menginjak telur-telur itu dan mengaum kian keras.
Datanglah tukang kredit. Sejurus ia terpaku heran, kemudian menghampiri Paimun dengan hati-hati. Ajaib! Demi melihat kedatangan tukang kredit, Paimun buru-buru menyembunyikan cakarnya. Ia mematung, matanya yang semula beringas perlahan meredup, memandang nanar ke arah tukang kredit. “Lek Paimun kenapa sampai begini?” sapa tukang kredit sambil menyentuh bahu Paimun,
Paimun malah menundukkan wajahnya. Malu dia.
“Hebat!” Arifin sesumbar “Tukang kredit punya ilmu supranatural yang bisa menjinakkan orang yang sedang ngamacan. Dia berpotensi jadi dukun atau tabib, Mak!”.
Emak tertawa. “Kalau tukang kredit punya ilmu semacam itu, kenapa dia memilih untuk tetap menjalani profesinya sebagai tukang kredit?”
*
Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi di masa lalu, ada sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang suami istri tanpa anak. Sudah belasan kali tukang kredit datang menagih angsuran, tapi pintu rumah itu selalu saja terkunci dari dalam. Semua orang tahu, pasutri itu sengaja sembunyi karena tak mau membayar cicilan uang atas kuali dan termos yang pernah diambilnya. Padahal kalau dibandingkan dengan para tetangganya di kampung terpencil ini, pasutri itu lumayan berada. Orang menduga, mereka terlalu sayang mengeluarkan duitnya untuk membayar cicilan harga kuali dan termos yang tak seberapa.
Namun hari itu, pasutri tak sempat sembunyi. Ketika mereka sedang bercengkrama di beranda, tahu-tahu tukang kredit sudah ada di depan mereka.
“Waduh, dompet lagi cekak, nih,” sambut si istri dengan keramahan basa-basi. Suaminya yang bertubuh tinggi dan kekar diam dengan muka cemberut.
“Mestinya kalian berusaha melunasinya,” tukang kredit bergumam.
“Ini!” tiba-tiba sang suami melemparkan uang sepuluh ribu.
Tukang kredit menahan emosi, “Berbulan-bulan kalian menggunakan kuali dan termos itu,” geramnya seraya memungut uang itu.
Lelaki tinggi kekar naik pitam. Dengan gerakan liar dia menghambur ke dalam rumah, sesaat kemudian muncul lagi menenteng kuali gosong di tangan kiri serta termos karatan di tangan kanan. “Ini, ambil kembali!” teriaknya sambil melemparkan kedua barang rongsokan itu tepat di depan kaki tukang kredit.
Braaaaak! Tukang kredit menginjak pantat kuali itu sampai jebol. Merasa belum puas, ia memungut termos. Amarah menggelegak di dadanya. Tangannya gemetar hebat mencengkram benda itu seperti ingin meremukannya dalam sekejap. Matanya tajam membara, menusuk dan mengecutkan hati pasutri di depannya.
Melihat kemarahan yang luar biasa itu, si tinggi kekar tersurut beberapa langkah ke belakang.
“Ma..., maafkan suamiku, Mas!” sang istri ketakutan mencengkram tangan suaminya.
Dan Arifin bertanya pada Emak: “Apakah tukang kredit benar-benar punya keberanian berkelahi dengan orang kekar itu?”
Emak menjawab: “Tidak, jika dia bukan dalam posisi teraniaya.”
*
Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi cerita di masa lalu, dalam perjalanan pulang setelah menjajakan barang dan menagih angsuran, tukang kredit mampir ke sebuah warung kecil langganan di tepi pedusunan. Warung itu milik Mbah Darmo yang cukup mengenal tukang kredit, dan si Mbah tanpa bertanya lagi langsung menyeduh kopi jahe untuknya, karena memang kopi jahe itulah yang selalu dipesan tukang kredit setiap mampir ke sana.
Di warung itu ternyata ada pengunjung lain: seorang lelaki muda dengan bekas luka bacok di pelipisnya. Begitu melihat tukang kredit, si lelaki langsung mengajak bersalaman, dan dengan ramahnya ia mengenalkan diri. “Nama saya Jumhur,” katanya.
Kendati kurang nyaman dengan wajah sangar lelaki itu, tukang kredit merasa senang karena keakraban Jumhur sedikit mengobati penatnya setelah berjalan kaki seharian ke luar masuk hutan menempuh kampung-kampung terpencil di sepanjang lereng gunung Slamet.
“Bagaimana tarikannya hari ini? Lancar?” Jumhur bertanya setelah menyeruput kopi pekatnya.
“Alhamdulillah, lancar.”
Jumhur melirik tas kecil yang terikat di pinggang tukang kredit. “Pulangnya ke mana?”
“Ke Sukalila.”
“Rumah saya di Kedung Jati.”
“Kebetulan kita searah.”
“Iya, bagaimana kalau kita jalan sama-sama?”
“Ide bagus.”
Sementara itu, Mbah Darmo yang sedang menyeduh kopi jahe mendadak pucat wajahnya. Diam-diam ia mengedipkan mata ke arah tukang kredit sebagai isyarat agar tukang kredit tidak menuruti ajakan Jumhur. Tukang kredit tidak mengacuhkan kekuatiran di wajah si mbah.
Hari semakin beranjak petang, tukang kredit dan Jumhur segera pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan. Untuk terakhir kalinya Mbah Darmo mengedipkan mata, namun tukang kredit pura-pura tidak memahami arti kedipan itu.
Sepanjang menyusuri jalan setapak di tengah hutan jati, rasa was-was sebenarnya membebani langkah tukang kredit. Beberapa kali ia melihat gelagat Jumhur yang berjalan di depan seolah-olah hendak berbalik dan langsung menyerang dirinya. Tapi, tukang kredit tak ingin memperlihatkan takutnya. Ia bicara dengan tenang, bertanya tentang apa saja, termasuk kehidupan pribadi si Jumhur ini. Tukang kredit tidak membiarkan kebisuan mengiringi langkah mereka, sebab ia tahu kebisuan hanya akan menimbulkan pikiran-pikiran jahat di hati orang itu.
Ah, ternyata trik tukang kredit itu mempan. Bahkan tak perlu banyak tanya, Jumhur dengan senang hati bercerita banyak tentang dirinya. Usut punya usut, lelaki berwajah sangar itu sudah berkeluarga, punya anak dua, masih kecil-kecil. Jumhur mengaku dulu pernah bekerja sebagai cukong kayu, sekarang sudah bangkrut, dan ia, dengan intonasi memelas, mengaku sangat kesulitan menafkahi anggota keluarganya sejak illegal logging dinyatakan sebagai kejahatan yang musti diberantas. Pada akhirnya, Jumhur putus asa, ia bersama beberapa temannya punya rencana merampok rumah orang-orang kaya. Jumhur pun kemudian berterus-terang bahwa kepergiannya ke Kedung Jati bukan untuk pulang, melainkan untuk memantau kondisi rumah salah satu warga di sana yang menjadi target operasi perampokannya. Aneh, pikir tukang kredit, mengapa Jumhur berterus terang memberi tahu niat jahatnya itu?
Dan seperti biasanya kalau sedang diajak mengobrol, tukang kredit adalah pendengar yang bijaksana. Sambil sesekali meraba tas di pinggang, ia menyarankan Jumhur agar mengurungkan niat jahatnya itu. Tukang kredit bicara dengan santai dan hati-hati agar tidak menimbulkan kesan menceramahi dalam setiap ucapannya. Kerendahan hati ia tunjukkan dengan menceritakan kesulitan ekonomi yang sering dialaminya sendiri. Tukang kredit bercerita, bahkan di usia 10 tahun ia harus ikut abangnya merantau ke Sumatra, dan di Sumatra itu ia mengalami peristiwa-peristiwa getir yang akhirnya menempa dirinya sebagai lelaki yang tangguh dalam menghadapi setiap persoalan. Usaha dan kesabaran, kata tukang kredit, adalah modal utamanya dalam menapaki kerasnya kehidupan.
Angin berhembus kuat menerpa dedaunan. Mendung tiba-tiba bergelayut di langit. Dalam beberapa kejapan mata, hujan turun sangat deras. Tukang kredit dan Jumhur semakin mempercepat langkah. Tak lama lagi, mereka akan sampai di tepi pedusunan Kedung Jati. Tiba-tiba, Jumhur yang berjalan di depan menghentikan langkahnya. Ia berbalik, tangannya menjulur cepat, kemudian berkata: “Sini, Mas, saya bantu memikul keranjangmu!”
Tiga hari kemudian, Mbah Darmo sedang mengelap lapak meja ketika tukang kredit datang dengan wajah letih. Si mbah melonjak senang. “Syukurlah, aku bisa melihatmu kembali.”
“Alhamdulillah, saya baik-baik saja.”
Mbah Darmo melirik kiri-kanan. “Jumhur, orang sangar yang mengajakmu pulang sama-sama itu…, perampok!”
“Oh, saya tahu. Jumhur sendiri yang mengatakannya sama saya.”
Mbah Darmo memandang prihatin “Dia terkenal sadis, tak segan-segan membunuh orang yang dirampoknya. Untunglah kamu tidak kenapa-kenapa.”
“Sadis?” tukang kredit terkejut, mengusap dada.
Maka Arifin bertanya pada Emak, “Jadi, apa yang dirampas Jumhur dari tukang kredit?”
“Tidak ada. Jumhur sangat baik terhadap tukang kredit,” jawab Emak.
*
“Siapa tukang kredit itu, Mak?” tanya Arifin pada akhirnya.
“Dia adalah sosok yang kehadirannya paling dibenci nenekmu.”
“Apakah nenek berutang banyak padanya?”
“Tidak. Nenekmu benci karena Emak suka meninggalkan pekerjaan dapur demi mengintipnya dari tirai jendela.”