CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Selasa, 17 Januari 2012

Tukang Kredit

Oleh : Idi Pangkur


Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi di masa lalu, ada seorang lelaki kampung bernama Karyadi, mengidap malaria berminggu-minggu lamanya. Hampir putus asa istrinya, segala ramuan dan obat sudah dicoba, tapi sakit Karyadi tak kunjung reda. Demam tinggi membuat rambut Karyadi rontok nyaris botak. Setiap jam, tubuhnya menggigil hebat, dan ketika ia menggigil pasti bergemerotak bunyi dipan tempatnya berbaring. Istrinya pernah berinisiatif menindih tubuh Karyadi dengan buntelan kain berisi batu agar tubuh Karyadi diam, tapi beberapa kali batu itu menggelinding lalu jatuh menimpa lantai semen. Perut Karyadi sudah seperti balon yang kempes, apa pun makanannya, terasa pahit di mulut.
Lalu datanglah tukang kredit terseok-seok memikul barang dagangan dan berhenti di depan rumah Karyadi, ia hendak menagih angsuran uang atas beberapa barang yang pernah diambil istri Karyadi. Demi mengetahui Karyadi sakit, tukang kredit berusia 23 tahun itu minta bertemu dengan Karyadi. Ia duduk khidmat di samping tubuh Karyadi, membaca beberapa ayat al-Quran lalu meniupkan napasnya ke dahi Karyadi. Esok harinya, Karyadi sudah dapat nongkrong di beranda.

“Apakah tukang kredit yang menyembuhkan sakit malaria Karyadi?” tanya Arifin kepada Emak.

“Bukan. Tuhan-lah yang menyembuhkannya,” jawab Emak.

*
Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi di masa lalu, ada seorang lelaki tua sedang meregang nyawa, tapi malaikat maut tak juga mencabutnya. Tengkorak hidup, demikian orang menggambarkan keadaan lelaki tua itu. Hampir putus asa semua anggota keluarga, sakit si tua rupanya sangat merepotkan mereka. Berangkat dari rasa iba, tukang kredit datang menjenguk, ia mengaji dengan khusuk. Esok harinya, orang tua itu sehat dan mendapati dirinya sudah berada di alam kubur.

Tak hendak menunggu pertanyaan idiot dari Arifin, Emak langsung mengultimatum: “Jangan berpikir tukang kredit-lah yang menyebabkan orang tua itu mati!”

*
Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi di masa lalu, Paimun mengamuk di halaman rumahnya. Ia mengaum, mencakar tanah, melompat-lompat, menerkam apa saja yang ada di hadapannya.

“Kang Paimun ngelmu macan. Kalau sedang marah, dia akan mengamuk seperti macan,” begitu kata orang-orang yang mengintip dari balik jendela. Beberapa warga menggelindingkan telur ayam ke arah Paimun, karena katanya telur bisa menjinakkan orang yang sedang ngamacan. Tapi gagal, Paimun tambah beringas, menginjak telur-telur itu dan mengaum kian keras.

Datanglah tukang kredit. Sejurus ia terpaku heran, kemudian menghampiri Paimun dengan hati-hati. Ajaib! Demi melihat kedatangan tukang kredit, Paimun buru-buru menyembunyikan cakarnya. Ia mematung, matanya yang semula beringas perlahan meredup, memandang nanar ke arah tukang kredit. “Lek Paimun kenapa sampai begini?” sapa tukang kredit sambil menyentuh bahu Paimun,

Paimun malah menundukkan wajahnya. Malu dia.

“Hebat!” Arifin sesumbar “Tukang kredit punya ilmu supranatural yang bisa menjinakkan orang yang sedang ngamacan. Dia berpotensi jadi dukun atau tabib, Mak!”.

Emak tertawa. “Kalau tukang kredit punya ilmu semacam itu, kenapa dia memilih untuk tetap menjalani profesinya sebagai tukang kredit?”
*

Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi di masa lalu, ada sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang suami istri tanpa anak. Sudah belasan kali tukang kredit datang menagih angsuran, tapi pintu rumah itu selalu saja terkunci dari dalam. Semua orang tahu, pasutri itu sengaja sembunyi karena tak mau membayar cicilan uang atas kuali dan termos yang pernah diambilnya. Padahal kalau dibandingkan dengan para tetangganya di kampung terpencil ini, pasutri itu lumayan berada. Orang menduga, mereka terlalu sayang mengeluarkan duitnya untuk membayar cicilan harga kuali dan termos yang tak seberapa.

Namun hari itu, pasutri tak sempat sembunyi. Ketika mereka sedang bercengkrama di beranda, tahu-tahu tukang kredit sudah ada di depan mereka.

“Waduh, dompet lagi cekak, nih,” sambut si istri dengan keramahan basa-basi. Suaminya yang bertubuh tinggi dan kekar diam dengan muka cemberut.

“Mestinya kalian berusaha melunasinya,” tukang kredit bergumam.

“Ini!” tiba-tiba sang suami melemparkan uang sepuluh ribu.

Tukang kredit menahan emosi, “Berbulan-bulan kalian menggunakan kuali dan termos itu,” geramnya seraya memungut uang itu.

Lelaki tinggi kekar naik pitam. Dengan gerakan liar dia menghambur ke dalam rumah, sesaat kemudian muncul lagi menenteng kuali gosong di tangan kiri serta termos karatan di tangan kanan. “Ini, ambil kembali!” teriaknya sambil melemparkan kedua barang rongsokan itu tepat di depan kaki tukang kredit.

Braaaaak! Tukang kredit menginjak pantat kuali itu sampai jebol. Merasa belum puas, ia memungut termos. Amarah menggelegak di dadanya. Tangannya gemetar hebat mencengkram benda itu seperti ingin meremukannya dalam sekejap. Matanya tajam membara, menusuk dan mengecutkan hati pasutri di depannya.

Melihat kemarahan yang luar biasa itu, si tinggi kekar tersurut beberapa langkah ke belakang.

“Ma..., maafkan suamiku, Mas!” sang istri ketakutan mencengkram tangan suaminya.

Dan Arifin bertanya pada Emak: “Apakah tukang kredit benar-benar punya keberanian berkelahi dengan orang kekar itu?”

Emak menjawab: “Tidak, jika dia bukan dalam posisi teraniaya.”
*

Emak bercerita pada Arifin, telah terjadi cerita di masa lalu, dalam perjalanan pulang setelah menjajakan barang dan menagih angsuran, tukang kredit mampir ke sebuah warung kecil langganan di tepi pedusunan. Warung itu milik Mbah Darmo yang cukup mengenal tukang kredit, dan si Mbah tanpa bertanya lagi langsung menyeduh kopi jahe untuknya, karena memang kopi jahe itulah yang selalu dipesan tukang kredit setiap mampir ke sana.

Di warung itu ternyata ada pengunjung lain: seorang lelaki muda dengan bekas luka bacok di pelipisnya. Begitu melihat tukang kredit, si lelaki langsung mengajak bersalaman, dan dengan ramahnya ia mengenalkan diri. “Nama saya Jumhur,” katanya.

Kendati kurang nyaman dengan wajah sangar lelaki itu, tukang kredit merasa senang karena keakraban Jumhur sedikit mengobati penatnya setelah berjalan kaki seharian ke luar masuk hutan menempuh kampung-kampung terpencil di sepanjang lereng gunung Slamet.

“Bagaimana tarikannya hari ini? Lancar?” Jumhur bertanya setelah menyeruput kopi pekatnya.

“Alhamdulillah, lancar.”

Jumhur melirik tas kecil yang terikat di pinggang tukang kredit. “Pulangnya ke mana?”

“Ke Sukalila.”

“Rumah saya di Kedung Jati.”

“Kebetulan kita searah.”

“Iya, bagaimana kalau kita jalan sama-sama?”

“Ide bagus.”

Sementara itu, Mbah Darmo yang sedang menyeduh kopi jahe mendadak pucat wajahnya. Diam-diam ia mengedipkan mata ke arah tukang kredit sebagai isyarat agar tukang kredit tidak menuruti ajakan Jumhur. Tukang kredit tidak mengacuhkan kekuatiran di wajah si mbah.

Hari semakin beranjak petang, tukang kredit dan Jumhur segera pamit untuk kembali melanjutkan perjalanan. Untuk terakhir kalinya Mbah Darmo mengedipkan mata, namun tukang kredit pura-pura tidak memahami arti kedipan itu.
Sepanjang menyusuri jalan setapak di tengah hutan jati, rasa was-was sebenarnya membebani langkah tukang kredit. Beberapa kali ia melihat gelagat Jumhur yang berjalan di depan seolah-olah hendak berbalik dan langsung menyerang dirinya. Tapi, tukang kredit tak ingin memperlihatkan takutnya. Ia bicara dengan tenang, bertanya tentang apa saja, termasuk kehidupan pribadi si Jumhur ini. Tukang kredit tidak membiarkan kebisuan mengiringi langkah mereka, sebab ia tahu kebisuan hanya akan menimbulkan pikiran-pikiran jahat di hati orang itu.

Ah, ternyata trik tukang kredit itu mempan. Bahkan tak perlu banyak tanya, Jumhur dengan senang hati bercerita banyak tentang dirinya. Usut punya usut, lelaki berwajah sangar itu sudah berkeluarga, punya anak dua, masih kecil-kecil. Jumhur mengaku dulu pernah bekerja sebagai cukong kayu, sekarang sudah bangkrut, dan ia, dengan intonasi memelas, mengaku sangat kesulitan menafkahi anggota keluarganya sejak illegal logging dinyatakan sebagai kejahatan yang musti diberantas. Pada akhirnya, Jumhur putus asa, ia bersama beberapa temannya punya rencana merampok rumah orang-orang kaya. Jumhur pun kemudian berterus-terang bahwa kepergiannya ke Kedung Jati bukan untuk pulang, melainkan untuk memantau kondisi rumah salah satu warga di sana yang menjadi target operasi perampokannya. Aneh, pikir tukang kredit, mengapa Jumhur berterus terang memberi tahu niat jahatnya itu?
Dan seperti biasanya kalau sedang diajak mengobrol, tukang kredit adalah pendengar yang bijaksana. Sambil sesekali meraba tas di pinggang, ia menyarankan Jumhur agar mengurungkan niat jahatnya itu. Tukang kredit bicara dengan santai dan hati-hati agar tidak menimbulkan kesan menceramahi dalam setiap ucapannya. Kerendahan hati ia tunjukkan dengan menceritakan kesulitan ekonomi yang sering dialaminya sendiri. Tukang kredit bercerita, bahkan di usia 10 tahun ia harus ikut abangnya merantau ke Sumatra, dan di Sumatra itu ia mengalami peristiwa-peristiwa getir yang akhirnya menempa dirinya sebagai lelaki yang tangguh dalam menghadapi setiap persoalan. Usaha dan kesabaran, kata tukang kredit, adalah modal utamanya dalam menapaki kerasnya kehidupan.

Angin berhembus kuat menerpa dedaunan. Mendung tiba-tiba bergelayut di langit. Dalam beberapa kejapan mata, hujan turun sangat deras. Tukang kredit dan Jumhur semakin mempercepat langkah. Tak lama lagi, mereka akan sampai di tepi pedusunan Kedung Jati. Tiba-tiba, Jumhur yang berjalan di depan menghentikan langkahnya. Ia berbalik, tangannya menjulur cepat, kemudian berkata: “Sini, Mas, saya bantu memikul keranjangmu!”

Tiga hari kemudian, Mbah Darmo sedang mengelap lapak meja ketika tukang kredit datang dengan wajah letih. Si mbah melonjak senang. “Syukurlah, aku bisa melihatmu kembali.”

“Alhamdulillah, saya baik-baik saja.”

Mbah Darmo melirik kiri-kanan. “Jumhur, orang sangar yang mengajakmu pulang sama-sama itu…, perampok!”

“Oh, saya tahu. Jumhur sendiri yang mengatakannya sama saya.”
Mbah Darmo memandang prihatin “Dia terkenal sadis, tak segan-segan membunuh orang yang dirampoknya. Untunglah kamu tidak kenapa-kenapa.”

“Sadis?” tukang kredit terkejut, mengusap dada.

 Maka Arifin bertanya pada Emak, “Jadi, apa yang dirampas Jumhur dari tukang kredit?”

“Tidak ada. Jumhur sangat baik terhadap tukang kredit,” jawab Emak.

*

“Siapa tukang kredit itu, Mak?” tanya Arifin pada akhirnya.

“Dia adalah sosok yang kehadirannya paling dibenci nenekmu.”

“Apakah nenek berutang banyak padanya?”

“Tidak. Nenekmu benci karena Emak suka meninggalkan pekerjaan dapur demi mengintipnya dari tirai jendela.”

Sunyaruri Perawan Sunyi

Gunawan Tri Atmodjo

Sungguh Sunyaruri tidak menginginkan sesuatu yang luar biasa. Dia hanya menginginkan sesuatu yang sederhana saja, yang dimiliki kebanyakan manusia biasa. Sebuah wajah yang wajar, tak apa bila tak terlalu jelita. Tak mengapa bila tatap lelaki mengacuhkannya, asalkan tidak buru-buru menghindarinya atau meludah. Sebuah paras sederhana yang dapat membawanya menikmati senja di luar bingkai jendela.

Doa semacam itu terus menggaung dalam diri Sunyaruri dari subuh hingga ujung senja karena di sepanjang waktu itu dia hanya bisa melata di dalam kamar. Remang malamlah yang akan mengantarnya keluar rumah, menyamarkan paras menyeramkan yang telah disandangnya sejak dilahirkan dari tatapan mata-mata yang menyebutnya hantu. Kerudung hitam yang melintang sembarang di kepalanya, seakan menjadi petanda bahwa dia dan malam adalah kelindan, adalah pasangan tak terpisahkan. Dalam keremangan, Sunyaruri sudah cukup bahagia dengan berjalan menyusuri jalanan sepi perkampungan yang berujung pada pemakaman. Dia betah berlama-lama di pemakaman dan menjadi saksi melengkungnya orbit bulan di langit malam.

Para peronda bernyali yang melintasi area pemakaman dan kebetulan melihat Sunyaruri sudah paham akan keberadaannya. Tapi masih saja ada di antara mereka yang bergidik melihatnya. Para peronda yang penakut memilih tidak melewati area pemakaman. Bila dipaksakan pun, mereka akan bersungguh-sungguh berdoa sebelum ronda agar tidak bertemu Sunyaruri saat melintasi pemakaman. Begitulah, sebagian kecil warga kampung menganggap Sunyaruri hanya perawan yang kesepian sedangkan kebanyakan warga menganggapnya setan gentayangan.

Di pemakaman itu, saat cuaca cerah, Sunyaruri benar-benar menemukan dunianya yang hilang di saat pagi dan siang. Di hamparan nisan-nisan, Sunyaruri seakan terbebas dari belenggu kesunyian. Sunyaruri merasa akrab dengan dunia orang mati. Saat orang-orang tak sempat lagi berziarah ke makam orang-orang tersayang karena berbagai alasan, dengan setia Sunyaruri menggantikan ziarah mereka di pemakaman itu. Makam yang sering diziarahi pastilah bertabur bunga-bunga segar. Dipungutinya sebagian dari bunga-bunga itu untuk dibagi dengan makam yang jarang diziarahi. Rumput ilalang yang meninggi adalah bukti bahwa orang mati akan segera dilupakan dan Sunyaruri merasakan kebergunaannya sebagai manusia saat menyianginya di malam hari. Sunyaruri hanya berharap kelak hal sama akan terjadi padanya, akan ada orang yang tulus merawat makamnya saat tak ada lagi yang mengenang keberadaannya di dunia.

Tapi niat baik Sunyaruri selalu tak berbalas. Juru kunci makam, yang hanya bekerja saat cahaya terang atau saat uang dari para peziarah melimpah, akan segera mengusirnya bila mengetahui keberadaannya. Juru kunci makam akan menyalahkannya bila ada peziarah dari luar kota mengatakan pemakaman itu angker gara-gara melihat sosoknya di malam hari. Padahal jika ada peziarah malam, Sunyaruri juga merasakan ketakutan yang serupa. Ia takut mereka akan mengusirnya dari tempat itu karena dianggap orang gila. Maka ketika para peziarah itu tiba di pemakaman, ia akan segera membatu atau mencuri kesempatan untuk segera berlindung di pepohonan kamboja. Mungkin gerak bayangannya inilah yang mereka kira kelebat hantu. Dan para peziarah akan buru-buru berlalu tanpa sempat menuntaskan doa di bibir mereka yang kelu.

Lain cerita lagi pengalaman Sunyaruri dengan para pemburu ilmu gaib. Mereka adalah orang-orang yang diam-diam datang ke pemakaman di pucuk malam-malam tertentu, kebanyakan untuk semadi. Ada yang telanjang, ada pula yang berselempang kafan. Mereka kebanyakan adalah para pendatang dari luar kampung dengan berbagai tingkah anehnya. Apa yang sebenarnya mereka cari? Sunyaruri tak mengerti dan tak akan ambil peduli. Tapi lain soal kalau sudah berurusan dengan mayat bayi. Sunyaruri akan mati-matian menggagalkan usaha pencurian mayat bayi dari makamnya. Di tiap hari yang dianggap keramat, bila ada bayi yang meninggal maka dapat dipastikan makam bayi itu tidak aman. Pencuri mayat bayi, yang tak hanya satu, akan segera menyatroninya. Ada beberapa keluarga yang menunggui makam setelah bayi dikuburkan selama beberapa hari, tapi ada juga yang abai. Keabaian inilah yang memanggil Sunyaruri untuk berjaga.

Sunyaruri akan menggagalkan usaha pencurian dengan segala cara, mulai dari menampakkan diri sebagai hantu hingga melempari pencuri itu dengan batu dari balik kegelapan. Kebanyakan dari mereka akan melarikan diri. Sejauh ini hanya satu orang pencuri yang dapat bertahan dan meneruskan niatnya. Dan Sunyaruri tahu betul bahwa sosok itu adalah juru kunci makam. Tanah tanpa nisan yang masih merah itu dibongkarnya di malam buta, mayat bayi dikeluarkan, kemudian tanah ditimbun lagi seperti semula. Sebuah pencurian yang sempurna. Di hari-hari berikutnya, keluarga bayi hanya akan menziarahi makam kosong.

Perlakuan kasar dan kejahatan rahasia juru kunci makam inilah yang sesungguhnya menjadi teror di dunia indah penuh nisan Sunyaruri. Tapi ternyata itu hanya awal dari pengalaman tak termaafkan Sunyaruri dengan juru kunci makam itu. Di suatu malam tak berbulan, dengan langkah sempoyongan, juru kunci makam datang menghampiri Sunyaruri. Anehnya, lelaki paruh baya itu tidak mengusirnya. Justru ketika Sunyaruri bersiap melarikan diri, penunggu makam itu menahannya. Ada bau arak menyengat dari mulutnya. Mata juru kunci makam menatap wajah Sunyaruri dengan lekat sementara mulutnya terus meracau tak menentu. Inilah pertama kali sejak bertahun-tahun silam ada seseorang yang berbicara dan menatap lekat wajah Sunyaruri selain ibunya sendiri. Sunyaruri merasakan sesuatu yang menyenangkan membuncah di hatinya. Ada kehangatan yang janggal merambati pori-porinya.

Entah mengapa Sunyaruri merasa nyaman dengan keadaan itu. Racauan di bibir bau arak juru kunci makam makin menyisipkan keakraban aneh di antara mereka. Juru kunci makam bercerita tentang malaikat baik hati yang sering meminjamkan wajah-wajah jelita pada pelacur-pelacur jalanan agar mereka diminati lelaki hidung belang dan dapat menghidupi keluarganya. Cerita yang tentu sangat menggugah hati Sunyaruri. Seketika hilang sudah segala kebencian Sunyaruri pada juru kunci makam. Tanpa berhenti bercerita, tangan juru kunci makam mulai bergerilya di tubuh Sunyaruri. Menyusup, meremas, dan menusuk-nusuk. Tiba-tiba Sunyaruri merasakan demam yang menyenangkan. Apalagi ketika tubuh juru kunci makam merapat padanya dan memeluknya. Cerita di mulut juru kunci makam tak berhenti bahkan ketika disadarinya mereka berdua telah telanjang bulat berbaring di atas sebuah nisan.

Cerita malaikat yang meminjamkan wajah-wajah jelita itu terus berlanjut meski Sunyaruri hanya diam menyimak, meski ada sesuatu merobek kemaluannya yang menimbulkan perih yang purba. Cerita itu baru berhenti seiring dengan tumbangnya tubuh juru kunci makam setelah sejenak mengejang di atas tubuh Sunyaruri. Entah berapa lama tubuh lelaki itu tertidur menindih tubuhnya. Sunyaruri hanya merasakan keanehan yang nyaman, tubuh hangat manusia. Untuk beberapa saat Sunyaruri merasa lengkap sebagai perempuan. Dan sejenak itu pula Sunyaruri melupakan cahaya matahari yang mulai menggeliat di ufuk timur. Semua seperti sihir indah tapi lagi-lagi cahaya pagi seperti mantra jahat yang memulangkan Sunyaruri pada kutukan.

Lelaki itu terbangun dan kembali menjadi sosoknya semula. Pangeran yang semalam lembut bercerita telah moksa kembali menjadi raksasa jahat yang dengan tergesa memakai kembali pakaiannya dan mulai menghalau Sunyaruri dengan kasar. Keindahan yang mereka lewati semalam seakan tak berbekas. Sunyaruri menatap lelaki itu tapi juru kunci makam itu tak sudi menatap wajah Sunyaruri. Lelaki itu justru mengambil kayu, mengusir Sunyaruri. Dengan berlinang air mata, Sunyaruri berlari meninggalkan kuburan. Sunyaruri sudah sering menangis tapi tangis kali ini terasa berbeda. Tangis kali ini terasa lebih sakit. Ada kebahagiaan yang sempat tercecap dan pupus. Itulah yang menjadikan tangis Sunyaruri terasa lebih sakit. Tangis kehilangan kebahagiaan.

Perjalanan pulang di pagi hari dengan limpahan cahaya dan tatapan puluhan pasang mata warga kampung adalah siksaan tersendiri bagi Sunyaruri. Kerudung hitamnya sama sekali tak berguna untuk menutupi wajahnya. Orang-orang yang melihat Sunyaruri sontak menghentikan langkah dan minggir, memberinya jalan. Anak kecil yang sempat melihat Sunyaruri langsung menangis histeris. Dan betapa terasa jauh rumah Sunyaruri saat itu seakan langkah kakinya tak juga menjangkaunya. Ketika sampai di halaman rumahnya, tersirat di benak Sunyaruri banyaknya orang yang terluka secara panorama karena melihatnya berlari dari pemakaman. Sunyaruri terisak masuk rumah. Menuju pintu kamar, mengabaikan ibunya yang gelisah menunggu. Selalu tak ada kata di antara mereka. Ibu tua itu hanya mampu menghela napas panjang mengiringi langkah kaki putrinya memasuki kamar.

Kamar itulah dunia Sunyaruri yang sesungguhnya, tempat teraman menyembunyikan perasaan. Di sana Sunyaruri bisa bebas tanpa seorang pun menyakitinya. Sunyaruri bisa kembali tidur, merajut mimpi sebagai puteri secantik bidadari yang dinikahi pangeran tampan. Dan saat bangun nanti, senja telah tiba dan Sunyaruri bisa kembali melanjutkan hidup di pemakaman. Begitulah, setiap hari luka datang silih berganti menghampiri Sunyaruri tapi dia telah terbiasa menelannya, terbiasa mengudap duka bersama sepiring makan siang yang dihidangkan dengan kasih sayang oleh ibunya.

Pecahan kaca, dipan reot, dan kayu pasungan adalah teman setia Sunyaruri melewati kutuk cahaya. Kaca itu pecah karena kepalan tangan Sunyaruri sendiri sebelum pada akhirnya ia menyerah dan menerima suratan berparas seperti hantu. Dipan reot itu adalah singgasananya untuk memulai mimpi sebagai puteri secantik bidadari. Sunyaruri sungguh masih percaya mimpi itu bakal terwujud. Kayu pasungan itu mengingatkan Sunyaruri pada belenggu yang dulu dipaksakan ibunya saat awal masa puber membuat kelakuannya tak terkendali dan menanamkan kesadaran akan berharganya kebebasan seperti saat ini. Tak pernah ada rasa benci di hati Sunyaruri pada tindakan ibunya dulu itu. Meski tak pernah bicara padanya, Sunyaruri tahu cinta ibunya lebih besar dari derita yang disandangnya.

Dan hidup pun kembali bergulir seperti biasa. Dunia Sunyaruri tetap berkisar antara kamar dan pemakaman. Teman manusia Sunyaruri cuma ibunya. Tapi Sunyaruri mulai merasakan keanehan pada tubuhnya. Sudah tiga bulan purnama Sunyaruri lewatkan di pemakaman tapi darah kotor yang biasa mengucur dari kemaluannya saban akan purnama tak juga keluar. Sunyaruri juga merasakan keanehan dalam tubuhnya. Perutnya membuncit dan seringkali rasa mual datang tak tertahankan. Sunyaruri sering muntah di sembarang tempat. Pada purnama kelima ketika darah kotor yang biasa datang tak juga tiba, buncit di perut Sunyaruri kian membesar.

Di sebuah senja yang muram, ibu tercinta mendobrak kamar Sunyaruri, mengagetkannya yang sedang menerawang senja bibir jendela. Wajah ibunya sungguh berbeda dari biasanya. Wajah sang ibu merah padam, kata-katanya terasa bagai jarum yang menusuk-nusuk telinganya. Sunyaruri tahu, ibunya saat itu sangat marah tapi juga sangat sedih karena ada butir-butir air mata menetes dari pipinya. Sambil menjambak rambut Sunyaruri, sang ibu terus mengulang-ulang pertanyaan, “Siapa…siapa yang melakukannya?” tapi Sunyaruri tetap diam meski ia belum lupa cara menggetarkan pita suaranya. Sunyaruri bersikukuh menepati janjinya pada diri sendiri untuk tidak lagi bersuara. Lagi pula, mengatakan juru kunci makam sebagai pelakunya juga tak akan ada beda. Lelaki bejat itu tak akan mau bertanggung jawab. Toh, Sunyaruri sendiri juga tak sudi bersuami lelaki itu. Sunyaruri hanya merintih merasakan sakit di rambutnya yang dijambak kian kencang oleh ibunya hingga beberapa helai tercabut paksa.

Pertanyaan dan penyiksaan itu baru berhenti ketika ibu Sunyaruri tampak lelah dan menyerah. Dengan tenaga tersisa, ibu tua itu menyeret Sunyaruri ke pasungan. Sunyaruri menurut saja walaupun sebenarnya dengan mudah bisa melawan. Sunyaruri masih percaya, semua perlakuan ibu itu didasari kasih sayang yang besar dan ibu selalu melakukan yang terbaik untuknya. Dengan susah payah, ibu tua itu memasang pasung di kakinya. Sunyaruri tidak berontak. Ketika pasungan rampung terpasang, Sunyaruri melihat kesedihan memuncak di wajah ibunya. Entah kepada siapa ibunya bertanya, tapi getar suaranya sungguh miris di telinga, “Siapa durjana yang tega dan mampu memperkosa perempuan sepertimu, Anakku?” lalu dengan tersaruk meninggalkan Sunyaruri.

Secara perlahan, dalam keadaan terpasung, Sunyaruri mulai mencerna keadaan dan masa depannya. Tampaknya malam ini dan entah sampai kapan dia tetap akan dalam keadaan seperti ini. Dunianya akan menciut lagi sebatas setengah kamar. Sunyaruri akan kehilangan pemakaman. Sunyaruri akan kehilangan dunia yang menyenangkan. Tapi Sunyaruri teringat ibu yang memilihkan cara ini untuknya meneruskan hidup, lagi-lagi dengan lapang dia menerima pemasungan ini seperti menelan pil duka dengan segelas air cinta.

Selama di pasungan, perut Sunyaruri terus membesar. Sunyaruri mulai merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam perutnya. Sesuatu yang asing tapi terasa begitu dekat. Sesuatu yang menimbulkan rasa kasih yang lain dengan yang Sunyaruri rasakan pada ibunya. Sunyaruri jadi gemar membelai-belai perutnya, terlebih ketika ada sesuatu menonjol dalam kulit perutnya. Saat-saat seperti itulah ada kebahagiaan menyusup dalam hatinya, sering tak terasa sebutir air mata menetes di pipinya.

Sang ibu yang hanya datang mengantar makanan juga sering mengelus perutnya, menggumamkan kata-kata tak jelas menyerupai doa lalu pergi lagi. Sunyaruri tahu masih ada cinta luar biasa seorang ibu padanya saat ini, meski keterpasungannya sama sekali tak membuat dunia kehilangannya. Sunyaruri ada sebagai hantu dan hanya muncul sebagai ketakutan yang sesekali datang. Tak ada yang benar-benar menyadari keberadaan Sunyaruri di kampung ini, bahkan si juru kunci makam sekali pun.

Pada purnama kesembilan, Sunyaruri merasakan sesuatu dalam perutnya itu seperti mendesak ingin keluar lewat kemaluannya. Sunyaruri merasakan perih akibat robekan pada kemaluannya. Sunyaruri merasakan sakit yang luar biasa. Pandangannya kabur, pendengarannya berkurang. Tapi Sunyaruri masih sempat melihat ibunya tergopoh datang dengan sebaskom air dan segulung kain. Wajah ibunya samar-samar terlihat tegang dan bibirnya tak henti-henti memintanya mengedan. “Sedikit lagi sedikit lagi, ayo tekan, kepalanya sudah kelihatan!”

Kekuatan dan kemampuan Sunyaruri bertahan sudah di ambang batas. Dengan susah payah, Sunyaruri kumpulkan tenaga yang tersisa lalu sekuat tenaga ia mengedan. Sunyaruri merasakan ada sesuatu yang keluar penuh dari kemaluannya. Sunyaruri merasakan sebuah kesempurnaan membelah diri. Tapi Sunyaruri juga menyaksikan ruh-nya terbang meninggalkan tubuhnya. Sunyaruri melihat sosok yang tak jelas jenis kelaminnya mencekung di langit-langit kamar. Sosok itu perlahan turun, menggandeng tangan ruh-nya dan menuntunnya terbang. Sebelum pergi, telinga sekarat Sunyaruri yang berdengung masih mendengar suara sosok itu, “Telah kupinjamkan wajah jelita pada anakmu sampai akhir hayatnya.” Lalu telinga Sunyaruri mendengar suara tangis bayi. Tangis yang begitu merdu yang mengantarkan Sunyaruri meninggalkan dunia ini.

Sang ibu segera merawat bayi itu. Dia telah kehilangan anak tapi mendapat cucu perempuan. Duka dan bahagia bercampur dalam dirinya. Sambil menggendong bayi itu, diambilnya kain untuk menutup jenazah Sunyaruri. Air matanya berlinang menetes ke pipi merah sang bayi yang sedang menangis merembes hingga ke bibir mungilnya yang mengecap air asin itu sebagai air susu.

Sang ibu terkesima melihat keajaiban itu. Bayi itu berhenti menangis. Ditatapnya lekat-lekat wajah bayi perempuan itu. Tiba-tiba dia merinding menyaksikan paras cucunya itu. Sungguh jelita, melebihi bayangan bidadari tercantik yang ada di benaknya. Kecantikan yang seakan menawar setiap duka dalam hidupnya. Ibu tua itu yakin, jika kelak dewasa nanti, para lelaki akan rela bersabung nyawa demi menyeka sebutir keringat di wajah cucunya itu.
Solo, September 2011

 

Senin, 16 Januari 2012

aku udah berusaha untuk melupakannya dengan berusaha mencintai orang lain.. tapi semua itu sia-sia saja karena aku lebih mencintai mu.. aku hanya dapat berdo'a "jika dia memang jodohku aku mohon ya Allah.. dekatkan lah kami.. jika dia bukan jodohku dekatkanlah kami layaknya adik kakak saja.jangan jauhkan kami berdua :) "